Memasuki enam tahun implementasi Undang-undang (UU) Nomor 06 Tahun 2014 tentang Desa, geliat berbagai sektor di Gampong/Desa secara konkrit memberikan dampak yang signifikan pada perubahan kehidupan masyarakat Gampong/Desa. Terutama bergeraknya sektor-sektor ekonomi produktif berkat dukungan dana gampong/desa.
Semakin tumbuhnya dinamika pembangunan di Gampong/Desa tentu tidak terlepas dari ‘political will‘ Pemerintah Gampong/Desa mewujudkan amanah UU Desa dan dan semakin meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan Gampong/Desa.
Paradigma bahwa UU Desa sebagai solusi tidak terlepas dari kerangka filosofis, yuridis, maupun sosiologis yang mendasari, bahwa pertama, Gampong/Desa memiliki hak asal usul dan hak tradisional dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat dan berperan mewujudkan cita-cita kemerdekaan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). Kedua, Gampong/Desa telah berkembang dalam berbagai bentuk sehingga perlu dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis.
Keberhasilan pembangunan di Gampong/Desa yang diklaim oleh Kementerian Desa dengan mewujudkan program pembangunan fisik di 74 ribu desa se-Indonesia dan menciptakan beragam program peningkatan kualitas hidup warga pedesaan harus diapresiasi sebagai bentuk komitmen mewujudkan Gampong/Desa sejahtera yang terlepas dari kemiskinan.
Namun di sisi lain, masih perlu ada evaluasi secara komprehensif yang dilakukan oleh Pemerintah agar keberlanjutan program-program di Gampong/Desa lebih baik dan berdampak luas.
Permasalahan krusial yang perlu dievaluasi yakni semakin banyaknya kasus korupsi anggaran Desa yang melibatkan Geuchik/Kepala Desa. Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW), kasus korupsi dari tahun 2015 – 2017 dengan objek anggaran Desa mencapai 127 kasus yang mencakup Alokasi Dana Desa (ADD), Dana Desa (DD) dan Kas Desa.
Dari kasus tersebut yang paling dominan terjerat kasus korupsi adalah Geuchik/Kepala Desa dengan modus korupsinya yang beragam seperti penyalahgunaan anggaran, penggelembungan anggaran, proyek fiktif, laporan fiktif dan penggelapan.
Tak dapat dipungkiri bahwa dengan terdistribusinya anggaran Gampong/Desa yang cukup besar setiap tahunnya memperlebar segmentasi korupsi dan melahirkan raja-raja kecil di Gampong/Desa. Upaya pemerintah pusat melalui Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Desa untuk mencegah praktik-praktik korupsi di Gampong/Desa dengan mengoptimalkan regulasi nampaknya belum dipedomani sepenuhnya oleh Pemerintah Gampong/Desa.
Untuk mewujudkan tata kelola yang baik tidak cukup dengan didukung regulasi yang kuat akan tetapi perlu partisipasi yang kuat dari seluruh elemen masyarakat untuk terlibat mengawasi anggaran Gampong/Desa, terutama menguatkan kedudukan dan fungsi Tuha Peut/Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai institusi yang bisa melakukan ‘check and balance’ di Gampong/Desa.
Berdasarkan UU Nomor 6 tahun 2014, kedudukan Tuha Peut (BPD) sebagai Lembaga Gampong/Desa yang terlibat melaksanakan fungsi pemerintahan, tetapi tidak secara penuh ikut mengatur dan mengurus Gampong/Desa. Disamping itu, Tuha Peut (BPD) memiliki fungsi hukum dan fungsi politik yang menempatkan Tuha Peut (BPD) sebagai institusi yang memiliki legitimasi untuk menjalankan fungsi pemerintahan.
Dari fungsi hukum/legislasi, Tuha Peut (BPD) memiliki fungsi membahas dan menyepakati rancangan Qanun dan Reusam Gampong/Peraturan Desa bersama Geuchik/Kepala Desa. Sementara dari sisi fungsi politik, Tuha Peut (BPD) dapat menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat Gampong/Desa, melakukan pengawasan, kinerja Geuchik/Kepala Desa, dan menyelenggarakan Gampong/Desa.
Dengan kedudukan dan fungsi yang dimiliki, eksistensi Tuha Peut (BPD) sangat strategis dalam menjalankan fungsi pemerintahan terutama melakukan kontrol terhadap jalannya pemerintahan. Secara politis, Tuha Peut (BPD) sebagai perwakilan wilayah tentu memiliki legitimasi yang kuat karena dipilih secara demokratis untuk memperjuangkan kepentingan wilayahnya.
Kedudukanya sebagai mitra Pemerintah Gampong/Desa, Tuha Peut (BPD) memiliki posisi yang setara dengan Geuchik/Kepala Desa, yaitu sebagai salah satu unsur penyelenggara Pemerintah Gampong/Desa. Pada hakikatnya, Tuha Peut (BPD) sebagai Kanal (Penyambung) aspirasi masyarakat dan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Qanun dan Reusam Gampong/Peraturan Desa (Perdes) dan peraturan Geuchik Gampong/Kepala Desa.
Hal itu berarti Tuha Peut (BPD) menjadi penyeimbang bagi Pemerintah Gampong/Desa dalam penyelenggaraan Pemerintah Gampong/Desa. Selain kedudukan yang strategis sebagaimana amanah UU, Tuha Peut (BPD) juga memiliki fungsi yang cukup strategis yakni membahas dan menyepakati Rancangan Qanun dan Reusam Gampong/Peraturan Desa bersama Geuchik/Kepala Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat Gampong/Desa, dan melakukan pengawasan kinerja Geuchik/Kepala Desa.
Dalam konteks yang lebih luas, Tuha Peut (BPD) juga memiliki peran dan tugas yang cukup strategis dalam penganggaran Gampong/Desa. Dalam Permendagri Nomor 110 tahun 2016, peran dan tugas Tuha Peut (BPD) yakni bersama Geuchik/Kepala Desa membahas dan menyetujui Rancangan Peraturan Desa (Raperdes) Anggaran Pendapatan dan Belanja Gampong/Desa (APBGampong/APBDesa).
Serta menyetujui dan menetapkan anggaran dan melakukan pengawasan proses penyusunan dan implementasi APBGampong/Desa dan melakukan evaluasi pelaksanaan tugas Geuchik Gampong/Kepala Desa, yang meliputi capaian pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Gampong/Desa, Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Gampong/Desa dan APBGampong/Desa.
Dengan kewenangan itu, kita berharap momentum pengisian keanggotaan Tuha Peut (BPD) yang sedang berlangsung di beberapa Gampong/Desa di Indonesia sarana demokrasi lokal yang diharapkan outputnya melahirkan anggota Tuha Peut (BPD) semakin kuat dan berdaya sebagai representasi perwakilan masyarakat Gampong/Desa yang diharapkan mampu melakukan check and balance bagi pemerintahan Gampong/Desa.
Selama ini, Tuha Peut (BPD) lemah dalam menjalankan fungsinya bukan karena undang-undang yang melemahkan akan tetapi lebih disebabkan oleh Tuha Peut (BPD) itu sendiri yang tidak menjalankan fungsinya secara optimal. Karena dalam UU, kedudukan dan fungsi Tuha Peut (BPD) sangat kuat dan strategis.
Kewenangan yang luas diberikan UU mestinya dipahami sebagai upaya ‘check and balances’ dalam konteks memperkuat kedudukan, sehingga pemerintahan Gampong/Desa menjadi kuat. Dan untuk memperkuat posisi Tuha Peut (BPD), proses seleksi pengisian anggota Tuha Peut (BPD) hal yang sangat urgen sebagai langkah awal untuk mendapatkan calon anggota Tuha Peut (BPD) yang berkualitas dan mampu menjalankan tugasnya dengan baik.
Mestinya ada ‘fit and propert test‘ secara terbuka di setiap wilayah karena di situ masyarakat akan melihat apa visi misi dari kandidat dan terpenting bagaimana juga masyarakat mengetahui rekam jejak kandidat yang akan dipilih masyarakat. (SI)
Penulis Sarjani, ST
Mantan Ketua Tuha Peut Gampong (BPD) Gampong Alue Gampong Tahun 2005-2011